Situbondo, Publikapost.com – Memasuki bulan Agustus nuansa sambutan kemerdekaan terlihat dari maraknya penjual bendera merah putih di pinggir jalan atau jalan-jalan desa yang terselimuti bendera di pinggir nya. Semua rakyat khususnya Indonesia menyambutnya dengan gembira dan sakral.
Pelbagai kegiatan dilakukan setiap elemen, ada yang mengadakan lomba bahkan nonton bersama film muatan kemerdekaan. Refleksi akan perjuangan para pahlawan patut kita tanamkan kepada setiap generasi, kiai dan santri yang ikut berjuang memberikan nilai tersendiri.
KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, bisa dijadikan suri tauladan untuk terus merawat negara yang besar ini dari perpecahan dan musuh internal maupun eksternal. Kiai dan ulama secara umum pada masa-masa itu, tidak bisa dipungkiri peran besarnya dalam perjuangan kemerdekaan.
Bahkan Kiai dan santri berada dalam barisan depan melawan penjajah. Tidak hanya untuk membela agama, tetapi juga membela tanah air, karena keduanya menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Menukil tebuireng.online, peran KH. Hasyim Asy’ari dalam masa pra dan pasca kemerdekaan yang begitu besar harus diterangkan saat pembejaran di setiap sekolah. Agar generasi yang akan datang meneruskan semangat perjuangan beliau. Berikut peran sosok ulama kharismatik yang disegani warga NU pada masanya.
1. Menggembleng Hizbullah dan Sabilillah
Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tak bisa dipisahkan dari peran para pejuang Muslim, atau lebih tepatnya kaum santri. Dalam masa 1943-1945, hampir semua pondok pesantren membentuk laskar-laskar dan barisan-barisan guna merengkuh kemerdekaan Tanah Air.
Dari sekian banyak laskar, Laskar Hizbullah dan Sabilillah merupakan yang paling tersohor kala itu. Laskar Hizbullah (Tentara Allah) didirikan menjelang akhir pemerintahan Jepang, tepatnya 8 Desember 1944. Laskar ini terdiri dari para pemuda Islam dan kaum santri dari seluruh daerah di Indonesia.
Awal mula didirikannya Laskar Hizbullah adalah untuk menjadi kekuatan cadangan dari pasukan PETA (Pembela Tanah Air). Sebab kala itu, Jepang, yang telah memberi restu pada tokoh-tokoh Muslim untuk membentuk kekuatan militer, sedang terdesak akibat berkonfrontasi dengan sekutu.
Kiai Hasyim Asy’ari yang saat itu menjadi pimpinan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) telah menjadi pioner utama penyemangat para pejuang kelaskaran. Bahkan beliau sendirilah yang memberikan wejangan dan penggemblengan kepada para pejuang laskar.
Setiap malam mereka digembleng di Pesantren Tebuireng dengan diberikan amalan-amalan, doa-doa, wirid-wirid, sampai ritual pemberangkatan yang sangat sakral. Bagi kaum pesantren barokah kiai macam Kiai Hasyim tentu merupakan motivasi yang besar.
Selain dilatih kemiliteran, Laskar Hizbullah juga dibekali pendidikan kerohanian oleh para kiai. Setelah mendapat pelatihan militer yang cukup, anggota Laskar Hizbullah kembali ke tempat masing-masing.
Di tempat mereka membentuk satuan militer. Tak kalah pula, para kiai-kiai pesantren pun membentuk satuan militer yang disebut Sabilillah. Mereka inilah yang berjuang mempertahankan kemerdekaan RI dari sekutu, termasuk pertempuran Surabaya pada 10 November 1945.
Sebelum dikirim ke medan pertempuran, para punggawa Laskar Hizbullah, khususnya di wilayah Jawa Timur, dididik langsung oleh Hadratussyaikh. Istilah yang dipakai adalah penggemblengan. Kiai Abu Bakar Diwek Jombang, dalam kesaksiannya soal penggemblengan itu, ada doa-doa khusus yang diberikan Kiai Hasyim, seperti wirid dan hizb.
Namun, sayangnya beliau enggan memberitahu kami bacaan itu. Dari tangan-tangan hangat Kiai Hasyim muncullah para pejuang hebat dan militan, di antaranya Kiai Munasir Mojokerto, Kiai Yusuf Hasyim (putra beliau), dan Kiai Ahyat Chalimi Mojokerto. Ketiganya adalah tiga serangkai pimpinan Laskar Hizbullah Jombang dan Mojokerto dalam pertempuran melawan sekutu di Surabaya dan sekitarnya.
Ada juga Kiai Hasyim Latief, paman Emha Ainun Najib, Kiai Nawawi Mojokerto, Kiai Masykur Malang, dan masih banyak lagi kiai-kiai muda saat itu yang menjadi komandan handal.
2. Mengeluarkan Fatwa Resolusi Jihad
Para pemimpin-pemimpin bangsa dan tokoh-tokoh militer, seperti Soekarno, Bung Tomo, dan Jenderal Soedirman meminta saran-saran kepada para kiai. Mereka datang untuk meminta pendapat, nasihat, bahkan fatwa tentang perjuangan melawan penjajah.
Sebelum keputusan soal Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, Kiai Hasyim para 17 September 1945 beliau mengeluarkan fatwa jihad yang berisikan ijtihad bahwa perjuangan membela tanah air sebagai suatu jihad fi sabilillah. Fatwa ini merupakan bentuk jawaban dari pertanyaan Presiden Soekarno yang memohon fatwa hukum mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam.
Pada 21-22 Oktober 1945 PBNU menggelar rapat konsul NU se-Jawa dan Madura. Rapat digelar di Kantor Hofdsbestuur Nahdlatul Ulama di Jalan Bubutan VI No 2 Surabaya. Di tempat inilah setelah membahas situasi perjuangan dan membicarakan upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Di akhir pertemuan pada tanggal 22 Oktober 1945 PBNU akhirnya mengeluarkan sebuah Resolusi Jihad sekaligus menguatkan fatwa jihad Rais Akbar NU Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari.
Isinya adalah menyeru kepada bahwa wajib hukumannya berjuang mempertahankan NKRI. Yang gugur dalam medan perang dianggap sebagai syahid fi sabilillah.
Dalam redaksi yang dikutip oleh Agus Sunyoto dalam bukunya “Resolusi Jihad NU dan Perang 4 Hari di Surabaya (2016)” bahkan lebih rinci lagi. “Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)…”.
Peristiwa ini memang terjadi pasca 17 Agustus 1945, tetapi perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini menjadi tonggak keberlangsungan bangsa.
Sangat mungkin berbeda jika yang terjadi, Sekutu datang, kita kalah dalam peperangan, tanpa perlawanan, akan menjadi negara boneka, ataupun masih jadi persemakmuran. Artinya tidak sepenuhnya berdaulat, walau telah dinyatakan merdeka.
3. Taktik Dakwah Memanfaatkan Jepang
KH. Salahuddin Wahid dalam sebuah kesempatan pernah menjelaskan, bahwa saat dijajah Jepang, warga Indonesia banyak memberikan ruang bagi tokoh-tokoh Islam. Bahkan dibentuk badan yang mengurusi keagamaan atau Shumubu yang diminta jadi ketua yaitu KH. Hasyim Asy’ari, tapi sehari-hari yang mengurusinya yaitu putra beliau, KH. A. Wahid Hasyim.
Karena Kiai Hasyim memilih menjaga santrinya untuk membacakan kitab dan ngaji ilmu agama di Tebuireng. Kemudian dari sini banyak muncul tokoh Islam dalam pergerakan menuju kemerdekaan. Itu terjadi pada tahun 1943-1944. Dan kedekatan dengan Jepang ini membuat lahir Laskar Hizbullah dan Pembela Tanah Air (Peta) yang dilatih oleh Jepang.
Ini juga merupakan bentuk ruang-ruang yang disediakan oleh Jepang untuk orang-orang Indonesia atas lobi sejumlah tokoh. KH. Hasyim Asy’ari, Soekarno, dan Supriadi memilih bekerja sama dengan Jepang. Ternyata tidak semua tokoh bangsa saat itu, setuju, salah satunya, yaitu Sutan Sjahrir.
Bahkan ia pernah menyebut mereka bertiga sebagai Anjing-anjing Jepang. Ia tidak tahu padahal ini hanya taktik dakwah. Gus Sholah menyebut hal itu mirip seperti mubalig zaman awal kedatangan Islam, yang tak mungkin frontal melawan Jepang, justru memanfaatkan ruang yang disediakan.
Kelihaian dakwah Kiai Hasyim dan Kiai Wahid terus berlanjut dengan adanya Masyumi sebagai pemersatu Umat Islam Indonesia saat itu. Tokoh-tokoh masyumi sangat berperan dalam perjuangan kemerdekaan, khususnya pada jalur politik dan diplomatis.
Politik memanfaatkan dengan dalih kerjasama oleh tokoh-tokoh ini terbukti memberikan jalan mulus bagi kemerdekaan Indonesia. Bayangkan jika tidak ada piranti-piranti bentukan Jepang itu, tentu akan semakin susah untuk mendapatkan kemerdekaan.
4. Membesarkan Hati Umat Islam soal Dasar Negara
Kemudian dibentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dari badan ini lah mulai muncul usulan dasar negara yaitu Pancasila dan Islam. Bung Karno sempat menangis meminta seluruh anggota BPUPKI untuk menerima Pancasila. Karena ada jalan buntu antara nasionalis dan Islam. Baru 17 Agustus 1945 kemerdekaan diproklamirkan.
Pertentangan dasar negara ini sangat tajam, akhirnya dibentuk panitia sembilan. Ada Bung Karno, Bung Hatta, H. Agus Salim, Abikusno, Kahar Mudzakir. AA. Maramis, A. Soebardjo, M. Yamin, dan KH. Wahid Hasyim.
Panitia ini menghasilkan piagam Jakarta yang kita kenal hingga kini, yang kemudian kita kenal sekarang Pancasila. Dari situ, kita melihat, umat Islam mengalah dengan keadaan. Mereka melihat jika perdebatan terus dilakukan akan terjadi konflik yang besar.
Kiai Hasyim, melalui Kiai Wahid pun melihat itu. Sampai pada penghapusan tujuh kata sila pertama “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya”, pun umat Islam menunjukkan kebesaran hati menerima sebagai mayoritas di NKRI.
Tangan-tangan strategi dakwah yang dilakukan Kiai Wahid tak bisa lepas dari bisikan dan saran dari ayahandanya Kiai Hasyim. Sebuah sikap yang tepat di masa genting, yang diharuskan cepat dalam merumuskan dasar negara, agar segera dapat merdeka.
Maka untuk sekarang ini, jangan mempertanyakan kesetiaan umat Islam kepada NKRI. Dari dulu mereka sudah menunjukkan jiwa ksatria menerima bangsa ini sebagai “rumah” mereka.