Kita mulai menjawab pertanyaan ini dari Tafsir Ibn Katsir. Ibn Katsir mengatakan bahwa pembahasan tentang ruh dalam QS al-Qadar:4 ini telah beliau jelaskan saat membahas ayat lain, yaitu QS an-Naba’ ayat 38: “Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar.”
Pada pembahasan ayat di atas Ibn Katsir menyampaikan sejumlah pendapat di antaranya ruh ini maksudnya arwah bani Adam, ada pula yang bilang ini Malaikat yang besarnya sama dengan seluruh makhluk digabung jadi satu, ada yang bilang ruh ini maksudnya Malaikat Jibril, dan juga masih ada pendapat lainnya. Walhasil, Ibn Katsir menguatkan pendapat bahwa ruh yang di maksud adalah Bani Adam alias manusia.
Pendapat Ibn Katsir bisa jadi benar untuk konteks QS an-Naba dimana surat ini bicara soal hari kiamat. Tapi tentu menjadi sedikit aneh ketika redaksi yang mirip “ruh dan malaikat” tersebut disamakan tafsirnya dengan QS al-Qadar ayat 4, yang konteksnya mengenai Laylatul Qadar.
Metode merujuk ayat lain untuk memahami Ruh pada surat al-Qadar ayat 4 yang dilakukan Ibn Katsir juga diikuti oleh Tafsir al-Mizan karya Thabathaba’i. Masalahnya ayat mana yang harus kita rujuk? Kalau Ibn Katsir merujuk ke QS an-Naba:38, maka Thabathaba’i merujuk kepada QS al-Isra:85
و الظاهر من الروح هو الروح الذي من الأمر قال تعالی: «قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي» إسراء: ۸۵ و الإذن في الشيء الرخصة فيه و هو إعلام عدم المانع منه.
Artinya ruh di sini urusan Allah dan kita tidak mengetahuinya kecuali hanya dengan pengetahuan yang sedikit.
Kalau pakai pendekatan seperti ini ya selesai deh diskusinya. Gak perlu dibahas lagi, serahkkan saja pada Allah.
Mari kita lihat kitab yang lain yaitu Tafsir ar-Razi. Imam Fakhruddin ar-Razi menyebutkan paling tidak 8 pendapat:
ذَكَرُوا فِي الرُّوحِ أَقْوَالًا أحدها: أنه ملك عظيم، لو التقم السموات وَالْأَرَضِينَ كَانَ ذَلِكَ لَهُ لُقْمَةً وَاحِدَةً وَثَانِيهَا: طَائِفَةٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ لَا تَرَاهُمُ الْمَلَائِكَةُ إِلَّا لَيْلَةَ الْقَدْرِ، كَالزُّهَّادِ الَّذِينَ لَا نَرَاهُمْ إِلَّا يَوْمَ الْعِيدِ وَثَالِثُهَا: خَلْقٌ مِنْ خَلْقِ اللَّهِ يَأْكُلُونَ وَيَلْبَسُونَ لَيْسُوا مِنَ الْمَلَائِكَةِ، وَلَا مِنَ الْإِنْسِ، وَلَعَلَّهُمْ خَدَمُ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَرَابِعُهَا: يُحْتَمَلُ أَنَّهُ عِيسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ لِأَنَّهُ اسْمُهُ، ثُمَّ إِنَّهُ يَنْزِلُ فِي مُوَاقَفَةِ الْمَلَائِكَةِ لِيَطَّلِعَ عَلَى أُمَّةِ مُحَمَّدٍ وَخَامِسُهَا: أَنَّهُ الْقُرْآنِ: وَكَذلِكَ أَوْحَيْنا إِلَيْكَ رُوحاً مِنْ أَمْرِنا [الشُّورَى: 52] وَسَادِسُهَا: الرَّحْمَةُ قرئ: لا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ [يُوسُفَ: 87] بِالرَّفْعِ كَأَنَّهُ تعالى يقول: الملائكة ينزلون رحمتي تَنْزِلُ فِي أَثَرِهِمْ فَيَجِدُونَ سَعَادَةَ الدُّنْيَا وَسَعَادَةَ الْآخِرَةِ وَسَابِعُهَا: الرُّوحُ أَشْرَفُ الْمَلَائِكَةِ وَثَامِنُهَا: عَنْ أَبِي نَجِيحٍ الرُّوحُ هُمُ الْحَفَظَةُ وَالْكِرَامُ الْكَاتِبُونَ فَصَاحِبُ الْيَمِينِ يَكْتُبُ إِتْيَانَهُ بِالْوَاجِبِ، وَصَاحِبُ الشِّمَالِ يكتب تركه للقبيح، والأصح أن الروح هاهنا جِبْرِيلُ وَتَخْصِيصُهُ بِالذِّكْرِ لِزِيَادَةِ شَرَفِهِ كَأَنَّهُ تَعَالَى يَقُولُ الْمَلَائِكَةُ فِي كِفَّةٍ وَالرُّوحُ فِي كِفَّةٍ
Ada yang berpendapat ruh ini, pertama, maksudnya Malaikat yang paling besar. Kedua, Malaikat jenis khusus yang tidak dilihat oleh Malaikat lainnya kecuali pada Laylatul Qadar. Ketiga, makhluk yang makan dan berpakaian tapi bukan malaikat, dan bukan manusia, kerjanya hanya bekhidmat pada ahli surga. Keempat, ruh di sini maksudnya Nabi Isa. Kelima, yang dimaksud ruh ini adalah al-Qur’an. Keenam, ruh disini maksudnya rahmat dengan merujuk pada QS Yusuf:87. . Ketujuh, ruh ini maknanya Malaikat yang paling mulia. Kedelapan, Malaikat mulia yang mencatat amal baik dan buruk.
Setelah menyebutkan kedelapan pendapat di atas, Tafsir ar-Razi menyatakan pendapatnya sendiri: yang lebih sahih adalah ruh ini maksudnya Jibril alaihis salam.
Sekali lagi kita simak kitab tafsir yang lain, yaitu karya Imam al-Mawardi yang berjudul an-Nukat wal ‘Uyun. Beliau sebutkan lima pendapat mengenai ruh yang turun ke bumi di malam Laylatul Qadar:
أحدها: جبريل عليه السلام، قاله سعيد بن جبير.
الثاني: حفظة الملائكة، قاله ابن أبي نجيح.
الثالث: أنهم أشرف الملائكة وأقربهم من الله، قاله مقاتل.
الرابع: أنهم جند من اللـه من غير الملائكة، رواه مجاهد عن ابن عباس مرفوعاً.
ويحتمل إن لم يثبت فيه نص قولاً خامساً: أن الروح والرحمة تنزل بها الملائكة على أهلها، دليله قوله تعالى: { ينزّل الملائكة بالرُّوح من أمْره على من يشَاءُ من عباده } أي بالرحمة.
Pendapat pertama adalah Jibril alaihis salam. Pendapat kedua, Malaikat penjaga. Ketiga, Malaikat paling mulia dan paling dekat dengan Allah. Keempat, pasukan Allah, yang bukan dari golongan Malaikat.
Kelima, karena tidak disebutkan khusus dalam al-Qur’an maka pendapat kelima mengatakan ruh di sini maksudnya rahmat, sesuai QS an-Nahl, ayat 2:
“Dia menurunkan para malaikat dengan ar-Ruh, dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya…”
Berbeda dengan Ibn Katsir dan ar-Razi, Imam al-Mawardi tidak memilih satu dari lima pendapat yang beliau kutip. Diserahkan pada kita untuk memilihnya.
Bagaimana sudah puas penjelasan dari 4 kitab Tafsir?
Terakhir, kita merujuk ke Tafsir al-Munir karya Syekh Wahbah az-Zuhaili yang langsung saja menyebutkan bahwa
والروح: هو جبريل عليه السلام خص بالذكر لزيادة شرفه، .
Ruh di sini maknanya Jibril ‘alaihis salam, yang khusus disebutkan untuk menambah kemuliaannya.
Apapun pendapat yang kita pilih, kita meyakini “Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan ar-Ruh dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.” (QS al-Qadr:4)
Cahaya…..
yang kita lihat pada malam itu
hanyalah cahaya di bumi,
yang dipenuhi dengan Malaikat dan ar-Ruh.
Ahlan wa sahlan.
Tabik,
Nadirsyah Hosen